Jumat, 20 Juni 2014

Cerpen

Alexis & Remora
Oleh Azis Abdullah

            Hari ini tak begitu bersahabat bagi Alexis, awan bergerombol menjadi satu dan terlihat berubah warna menjadi kelabu. “Mungkin hujan akan turun, aku harus segera kembali,” Alexis bergumam pelan dan hanya terdengar olehnya sendiri. Dia bergegas menuju tempatnya, dia percepat langkah kakinya agar cepat sampai di tujuannya.
            Hutan bukanlah tempat yang bersahabat, apa yang ada di dalam hutan bisa membunuh siapa saja tanpa terkecuali. Tetapi baginya hutan adalah pelindungnya, hutan adalah sahabat. Tempat Alexis berada tepat di tengah hutan, bukan tempat yang menakutkan seperti yang orang-orang bayangkan, malah tempat Alexis adalah tempat yang paling indah di dunia, dan hutan menjaganya.
            Alexis masih berjalan ketika dia tiba-tiba mendengar suara seorang wanita meminta tolong, dia kesakitan, Alexis mengubah arahnya dan mencari tahu darimana suara itu berasal. Dia menemukannya, seekor burung yang terjepit diantara dahan pohon, burung yang cantik dengan bulu terang berwarna biru, sangat indah sampai Alexis tidak bergerak sedikitpun melihat burung itu. “Tolong aku, tuan!” burung dengan bulu berwarna biru itu membuyarkan lamunan Alexis, “Ah iya, maafkan aku!” Alexis terkejut dan mencoba melepaskan burung itu, noda darah mengotori bulu indahnya.
            “Terimakasih, Tuan. Mungkin aku akan mati disini apabila tuan tidak datang kesini.” Ucap burung cantik itu.
            “Ya, apakah kau bisa terbang kembali?” tanya Alexis.
            “Entahlah, akan kucoba.” Burung itu mengepak-ngepakkan sayapnya mencoba untuk terbang kembali, dia jatuh, namun Alexis menangkapnya sebelum tanah menerimanya.
            “Mungkin lebih baik kau kuobati dulu, biar ku bawa kau ke tempatku.” Alexis menawarkan dan burung cantik itu hanya mengangguk pelan tanda setuju. Tanpa berbasa-bari Alexis meletakkan burung cantik itu di pundaknya dan kembali ke tempatnya tepat ditengah hutan itu.
            Sesampainya disana, burung cantik itu tidak banyak berbicara melihat tempat Alexis tinggal, dia melihat tempat yang paling indah dari tempat-tempat indah yang pernah dia lihat. Pohon-pohon berdiri kokoh bagaikan pillar yang menjulang, ada sebuah danau kecil dengan mata air yang mengalir langsung dari bawah, jamur-jamur bercahaya terlihat memandarkan sinarnya meskipun redup. Burung itu merasa bahwa sekarang dia ada di tempat yang paling indah di dunia.
            “Inikah tempat tinggalmu, tuan?” burung itu bertanya. “Ya, ini tempat tinggalku, indah bukan? Tidak ada orang yang tahu keberadaan tempat ini, hutan diluar menyembunikannya dari pandangan orang-orang. Dan, panggil saja aku Alexis. Apakah kau mempunyai nama wahai burung yang cantik?”, “Baiklah, maafkan aku Alexis. Namaku Remora.” Burung itu memperkenalkan dirinya, dia bernama Remora.
            Alexis tertegun melihat bulu berwarna biru dari burung itu, dia merasakan hal yang berbeda, cinta.
            Alexis bukanlah seorang manusia seperti kebanyakan, ibu yang melahirkannya adalah seorang manusia, tetapi ayahnya adalah seorang dewa, Alexis adalah manusia setengah dewa.
            “Baiklah, apa hanya ini wujudmu, Remora?” Alexis bertanya pada Remora. Remora menggeleng pelan dan dia mengepakkan sayapnya, seketika angin yang berada di sekitar mereka mendadak menjadi kencang dan Alexis tidak bisa melihat apa-apa, angin berhenti dan Alexis hanya tertegun melihat kecantikan Remora dalam wujud manusia, wanita anggun dengan dibalut gaun berwarna biru, dan tangannya terlihat terluka.
            “Ah, bukankah kau akan mengobatiku, Alexis?” Remora tersenyum pada Alexis mengingatkannya mengobati luka Remora.
            “Oh maafkan aku, Remora, baiklah” Alexis membalas senyumannya dan berlalu mencari tanaman obat-obatan yang ada di taman miliknya. Remora tersenyum sambil memperhatikan Alexis berjalan, dia pun merasakan hal yang sama, cinta.
            Tak berapa lama, Alexis kembali dengan mangkuk ditangan kanannya dan beberapa lembar daun. “Ini makanlah, mungkin kau lapar Remora. Dan daun ini akan cepat menyembuhkanmu,” tanpa menunggu pertanyaan, Alexis memeras daun yang digenggamnya dan mengucurkan air perasaannya pada luka Remora dan menempelkan daunnya. “asshh!” Remora meringis, “Tenanglah, itu tidak akan lama,” Alexis menenangkan.
            Makanan yang dibawa Alexis tadi telah habis dilahap Remora, “Ini sangatlah enak, Alexis” puji Remora, Alexis yang sedari tadi memerhatikannya hanya tersenyum mendengarnya.
            “Apakah kau mau berkeliling melihat-lihat tempat tinggalku, Remora?” Alexis mengajak.
            Remora melirik sekitarnya, kembali memandang Alexis, tersenyum dan mengangguk pelan.
            “Baiklah, ayo!” Alexis mengulurkan tangannya, begitupun Remora.
            Mereka berjalan menyusuri jalan, menapaki jalan setapak yang dibuat oleh jajaran bebatuan berwarna merah, Alexis menuntun Remora mengelilingi tempat tinggalnya yang berada jauh ditengah hutan dan jauh dari penglihatan ataupun jangkauan manusia biasa di desa sekeliling hutan itu.
            Mata Remora tak berhenti berbinar ketika Alexis mengajaknya mengelilingi tempat tinggalnya Alexis. Terutama saat dia sampai di bagian timur tempat tinggal Alexis, di bagian timur itu ada sebuah air terjun kecil yang berwarna-warni karena pelangi diatas riaknya air yang saling berjatuhan dari atas bebatuan sungai.
            Ketika Alexis dan Remora sedang duduk diatas batu besar dan dia bisa memandangi air terjun kecil yang tempat tinggal Alexis miliki, datanglah seekor burung kecil berwarna keemasan menghampiri mereka berdua, Remora mengulurkan tangannya dan tanpa rasa takut burung itu mendarat di tangan Remora.
            “Siapa namamu burung kecil?” tanya Remora padanya. “Icarus, aku memberinya nama Icarus, dia temanku disini, Remora.” Alexis memotong menjelaskan. Burung itu berkicau dengan sangat indah, sebenarnya dia tidak hanya berkicau, dia mengajak Remora berbicara, dan Remora tersenyum-senyum kecil mendengarnya.
            “Ah, Icarus! Jangan kau ceritakan semuanya!” Alexis terdengar sedikit marah dan malu mendengar pembicaraan Icarus pada Remora.
            “Tak apa, dia hanyalah burung kecil yang lugu, dan dia sangatlah jujur” Remora tertawa kecil mengingat pembicaraannya bersama Icarus, Alexis terlihat memerah, malu.
            “Jadi.....” Alexis dan Remora berbicara bersamaan, mereka saling pandang dan tertawa bersama-sama. “Silahkan kau dulu, Alexis”, “Ah tidak, kau dulu saja Remora” mereka berdua salah tingkah, “Aku lebih senang kau dulu yang berbicara” Remora tersenyum pada Alexis.           
            “Baiklah....” Icarus terbang dan hinggap di pundak Alexis. “Apakah kau mau tinggal disini bersamaku Remora? Entahlah, sampai lukamu benar-benar sembuh atau mungkin selama yang kau mau?” Alexis tersenyum, Icarus pun ikut berkicau setelah Alexis, dia pun menanyakan hal yang sama pada Remora.
            “Aku pun mau menanyakan hal itu padamu, Alexis. Apakah boleh aku tinggal disini untuk sementara waktu atau ya seperti yang kau katakan tadi? Tapi aku mendengar pertanyaan itu darimu, maka aku tahu jawaban yang benar. Ya, aku mau tinggal disini, Alexis. Aku mau.” Remora membalas senyuman Alexis sambil mengangguk pelan.
            Apalagi yang membuat Alexis senang selain jawaban dari Remora? Tidak ada, Alexis sangat gembira mendengarnya. Begitupun Icarus, dia terbang, dan berkicau di udara, dia hanyalah burung kecil periang sama dengan anak-anak manusia kebanyakan.
            Alexis dan Remora tertawa melihat Icarus seperti itu di udara, mereka pun dapat merasakan kesenangan yang dirasakan Icarus.
***
            Dua tahun berlalu, Alexis dan Icarus selalu ada didekat Remora.
            Malam menampakkan bulan yang sangat indah, Remora terduduk dan memperhatikan bulan yang jauh diatas sana didekat tempat tidurnya, tapi ada sesuatu dalam benak Remora yang membuat senyumannya mengendur. “Aku dapat mendengar sayapku memanggil-manggil namaku, aku rindu untuk terbang dan melihat dunia”, Remora bergumam namun kemudian dia menuju tempat tidurnya dan berbaring, dia tertidur.
            Keesokan paginya Remora berjalan-jalan, menuju ke tempat yang sangat sering dia kunjungi, bagian timur di tempat tinggal Alexis, mungkin sekarang tempat tinggal mereka berdua. Remora duduk diatas batu besar yang biasa dia duduki saat datang ke tempat itu.
            Tak lama dari itu, Alexis muncul dari balik pohon bersama Icarus, Icarus mendahului Alexis dan terbang menuju Remora, dia berkicau. “Selamat pagi, Remora! Sepagi ini kau bangun?” Alexis menyapa dan tersenyum.
            “Oh iya, selamat pagi juga Alexis, Icarus” Remora menjawabnya dan tersenyum.
            Alexis melihat sesuatu yang berbeda di senyuman Remora, bukan senyuman yang biasa dia lihat di hari pertama Remora datang ke tempat ini, dan bukan senyuman yang biasa Remora perlihatkan padanya, ada sesuatu yang sangat mengganggu menyelimuti pikiran Remora, pikir Alexis.
            “Ada apa Remora? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Alexis memberanikan diri untuk bertanya, begitupun Icarus, dia berkicau menanyakan hal yang sama pada Remora.
            “Eh? Apa? Iya? Maafkan aku Alexis. Mungkin aku kelelahan bermain bersama Icarus kemarin” Remora mencoba meyakinkan Alexis tetapi dia berbohong.
            Alexis tahu Remora berbohong, “Tidak, kau bukan kelelahan aku tahu, ada sesuatu yang lebih dari itu yang mengganggu pikiranmu saat ini, Remora. Katakan saja padaku.”
            Remora memandang Alexis. Cukup lama, tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
            Remora menghela nafas, “Hhhh, Alexis, kau tahu kan aku ini siapa dan dulu aku ini mempunyai apa?” Alexis mengangguk pada Remora,  dia mulai mengerti apa yang mengganggu Remora, tetapi dia hanya mendengarkannya, tak ingin memotong pembicaraannya. Icarus di pundak Alexis, dia memiringkan kepalanya.
            “Dan setiap malam aku dapat mendengar yang tak mungkin kau dengar, Alexis. Sayapku memanggilku, dia berkata merindukan aku, begitupun aku merindukan terbang dan melihat dunia dari atas sana.” Remora menengadah dan menunjuk ke udara.
            “Bukankah kau suka tinggal disini Remora?” Alexis balik bertanya.
            “Ya, aku sangat suka tinggal disini. Tetapi apa aku harus mengingkari sayapku yang kupercaya, dan apa harus aku menyalahi takdirku untuk dapat terbang di atas sana?” pertanyaan Remora menjelaskan semua pada Alexis, dia tak menjawabnya dan hanya terdiam memandangi Remora.
            “Aku mencintaimu, Remora. Aku mengharapkanmu jangan pergi dan tetaplah tinggal disini bersamaku dan Icarus” Alexis memohon, dia juga melirik Icarus.
            “Aku pun begitu, Alexis. Aku sangatlah mencintaimu. Tapi aku pun memiliki takdir yang lebih dulu kukenal daripada cinta ini.” Remora terlihat berkaca-kaca, perlahan air mata mengalir membasahi pipinya.
            Alexis terdiam, begitupun Icarus.
            “Baiklah Remora, jika itu maumu maka silahkan terbanglah. Tak apa, memang itu takdirmu sebelumya, bagaimana aku dapat menyalahi takdir yang diberikan padamu.” Alexis tersenyum, Icarus memandanginya, dia dapat melihat tangisan dibalik senyuman Alexis meskipun senyuman itu terlihat sangat cerah.
            “Tapi, mungkin kau mau berubah pikiran, tidak akan begitu telat kurasa.” Alexis melanjutkan.
            “Berubah pikiran?” Remora mengusap matanya.
            “Ya, setiap orang berubah pikiran, Remora. Termasuk kita, meskipun kita bukan orang biasa, tetapi tetap kita punya hati dan pikiran, sewaktu-waktu dapat berubah. Seperti saat ini, bukankah kau dulu telah memutuskan untuk tinggal disini bersamaku.” Alexis masih dengan senyumannya. Icarus pun ikut berkicau.
            Remora tersenyum, “Mungkin ini terakhir aku merubah pikiranku, aku ingin kembali terbang, aku ingin kembali melihat dunia yang luas diluar sana, Alexis. Maafkan aku.”
            “Jika kau pikir ini yang terbaik, maka lakukanlah, Remora. Jangan sampai aku menjadi penghalang antara kau dan takdirmu.” Alexis membalas senyuman Remora, kali ini Icarus diam.
            Remora berdiri dari duduknya dan kembali bertanya, “Maukah kau antarkan aku ke depan?” dia tersenyum namun matanya berkaca-kaca.
            Alexis menyanggupinya, dia mengangguk pelan. Icarus terbang dan mengikuti jalannya mereka berdua.
            Sepanjang perjalanan menuju ke bagian depan tempat tinggal Alexis, mereka berdua hanya terdiam dan tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir mereka masing-masing. Beku, jalanan terasa dingin ketika mereka berjalan.
            Mereka telah sampai di gerbang, begitu pun Icarus yang langsung hinggap di bahu Alexis.
            “Apa kau yakin, Remora. Belum terlambat untuk berubah pikiran.” Alexis tersenyum, kali ini getir.
            “Aku sangatlah yakin, Alexis. Sayapku, mereka memanggilku.” Remora tak banyak berkata-kata, dia memeluk Alexis. Erat, sangatlah erat. Tak berlama-lama, Remora melepaskan pelukannya. Dia kembali berubah menjadi burung indah dengan bulu berwarna biru cerah, sama seperti saat Alexis dan Remora bertemu dua tahun yang lalu, dia masih sangat cantik.
            “Baiklah, jaga dirimu baik-baik.” Alexis berkata, anggukan kecil Remora membalasnya. Kemudia Remora mengepakkan sayapnya dan terbang menjauhi Alexis. Tatapan lah yang mengiringi terbangnya Remora, bukannya lambaian tangan.
            Icarus berkicau, “Tidak Icarus, tidak usah. Tinggal lah disini bersamaku, dan biarkan Remora terbang.” Alexis hanya tersenyum pada Icarus dan membalikkan badannya dari sana, “Ayo Icarus, tempat ini menyiksaku.”
***
            Satu hari Remora pergi, Icarus dapat melihat dengan jelas apa yang ada dalam lamunan Alexis.
            Dua bulan berlalu, masih tetap sama, Alexis merindukan Remora.
            Begitupun satu tahun setelah Remora pergi, Alexis tak dapat menjauhkan lamunannya dari Remora, makhluk yang begitu indah yang pernah Alexis temui.
            Icarus mendekat pada Alexis dan berkicau, dia mengkhawatirkan Alexis. “Tenanglah Icarus, aku tidak apa-apa, hanya sedikit merindukannya, tidak lebih.” Alexis tersenyum mencoba tegar, Icarus memiringkan kepalanya, dia tahu apa yang dirasakan Alexis, Alexis tidak hanya sedikit merindukannya, tetapi berharap untuk Remora dapat kembali.
            Alexis berdiri dari duduknya, berjalan menjauhi Icarus tanpa senyuman. Icarus hanya memperhatikan tanpa mengikutinya.
            Selang beberapa menit, Alexis kembali dan menghampiri Icarus, Alexis dengan perbekalannya. “Icarus, maukah kau melakukan sesuatu untukku?” tanya Alexis. “Tinggal lah disini dan tunggu Remora, aku tahu dia pasti akan kembali. Dan berikan ini kepadanya.” Alexis memberikan sepucuk surat pada Icarus.
            Tanpa berpikir panjang, Alexis melangkah dan pergi dari tempat tinggalnya. “Jaga dirimu baik-baik, kawan.” Alexis berkata pada Icarus.
***
            Beberapa bulan telah berlalu dari perginya Alexis, Icarus menunggu datangnya Remora kembali ke tempat itu.
            Remora telah sampai, seperti yang Alexis percaya, Remora akan akan kembali, tetapi Alexis telah pergi dan meninggalkan tempat itu. “Alexis! Alexis!”, Remora mencoba memanggil tapi tak ada jawaban. “Icarus!” kemudian dia mencoba memanggil Icarus, tak lama Icarus menghampirinya. “Mana Alexis, Icarus?” tanya Remora. Icarus tak menjawab, dia pergi dan meninggalkan Remora, tapi tak berapa lama dia datang kembali dengan sepucuk surat di paruhnya, untuk Remora.
            Remora membuka surat itu dan membacanya.
            Terbanglah Remora, terbang
            Dunia menunggu dirimu
            Bukan aku
            Terbanglah Remora, terbang
            Angin menunggumu
Bukan kami

Ada daratan diantara daratan
Yang menunggu dirimu
Ada angin untukmu terbang
Seperti daun yang gugur
Dan terbawa terbang di angkasa
Terbanglah Remora, terbang!

Remora, mungkin dengan surat ini aku akan mengatakannya padamu. Aku mencintaimu, Remora. Aku merindukanmu.
 Alexis.

            Remora menutup surat itu, “Apakah dia pergi, Icarus?”          , Icarus hanya menjawab pertanyaan Remora dengan anggukan kecil dan dia terbang menuju pepohonan, dia memperhatikan Remora dari jauh. Remora menjatuhkan air matanya, “Maafkan aku, Alexis! Sekarang, dimana kau?”, Remora tak dapat membendung lagi tangisnya.
            Remora kembali menjadi burung dan terbang, dia mencoba mencari Alexis.
            Diluar tempat yang telah ditinggalkannya selama satu tahun terakhir itu tanpa sengaja karena terburu-buru, Remora mendapati dirinya kembali menabrak pohon dan sayapnya tersangkut lagi. Kejadian itu terulang lagi, pada saat mereka pertama bertemu, Alexis dan Remora. Namun kali ini siapa yang dapat menolongnya, Alexis yang dia tinggalkan kini telah pergi jauh entah kemana, dan tidak ada seorang pun mendengar tangisannya di hutan itu.
            “Alexis!!! Maafkan aku!” Remora menangis.


SELESAI

Kamis, 29 Mei 2014

Puisi



NEGERI BODOH DAN GENERASIKU
Oleh Azis Abdullah

Menyedihkan sekali negeriku
Menyedihkan sekali generasiku

Generasiku adalah generasi bodoh
Generasi bodoh yang mewarisi kebodohan generasi sebelumnya
Generasi bodoh yang tak mengerti dimana madu dan dimana racun
Bodoh, betapa bodohnya generasiku

Generasiku adalah generasi bodoh
Yang bodohnya melebihi beratus ekor babi, yang serakahnya melebihi puluhan ekor monyet
Yang meliak-liuk merasa lemah dibawah tanah seperti cacing padahal tidak lain dirinya adalah piton yang menganga
Yang tak pernah puas menganga

Generasiku adalah generasi bodoh
Generasi yang menginginkan hukum rimba absolut
Bukankah kita akan lihat darah menggenangi trotoar?
Bukankah akan kita lihat bagaimana kepala orang-orang tua menggelinding di jalanan menggantikan ban-ban mobil?
Menyedihkan sekali generasiku

Menyedihkan sekali negeriku
Menyedihkan sekali generasiku

Generasiku, generasi bodoh
Negeriku Indonesia, negeri yang menyedihkan
Tak mampu habis puisiku untuk Indonesia hanya dengan satu ember tinta bahkan bila itu bertintakan darah

Bila Taufik Ismail berkata “Aku malu menjadi orang Indonesia” maka ia sangat benar
Aku sanggup membenamkan wajahku kedalam kotoranku sendiri
Agar dunia tak tahu bahwa aku adalah orang Indonesia
Agar dunia tak tahu aku dilahirkan sebagai manusia dari generasi yang bodoh ini
Malu, aku sungguh malu!

Wahai pemimpin! Hai pemimpin!
Ajari generasiku dengan hukum
Bila perlu hukum generasiku dengan pendidikan
Apa itu terbalik? Tidak!
Semua terbalik di negeri bodoh ini

Menyedihkan sekali negeriku
Menyedihkan sekali generasiku

Kamis, 22 Mei 2014

Cerpen



ICH VERMISSE DICH
Oleh Azis Abdullah

Malam di taman Englishcher Garten Munich terasa lebih dingin dari biasanya, terang lampu taman kota ini pun tak mampu memberi cahaya pada pandangan mata ini, dan ramai taman ini yang dipenuhi pasangan yang memadu kasih pun tak mampu membuat pikiranku tarasa lebih ramai. Cahaya yang kudapat ini temaram, dan keramaian ini tidak lain hanya wujud semu dari keheningan yang kurasakan.
“Ahh, apa ini? Ini tak biasa kurasakan, berbeda dengan malam di hari minggu terakhir aku kesini. Malam ini Munich terasa lebih dingin, padahal salju tidak turun malam ini.” Aku berkata dalam batinku sambil memperhatikan temaram cahaya lampu taman yang padahal bila dilihat kedua mataku ini cukuplah terang.
Ich vermisse dich
Hanya ketiga kata itu yang selalu kuucapkan saat aku terduduk di kursi ini. Ya, setiap malam yang terbayang di benakku adalah sosok wanita dengan rambut ikal dan panjang yang  terurai indah bak helaian benang sutra. Apa yang dapat kukatakan selain ketiga kata itu menyusul bayang-bayang wanita cantik yang kutinggal pergi jauh di Indonesia sana.
Memang sangat berat hati kurasakan untuk meninggalkan hadiah terindah yang kuterima dari Tuhan, makhluk Tuhan yang mampu menandingi bulan saat purnama untuk bersinar terangi malam dan dia mampu mengalahkan kehangatan matahari tiap hari di tiap pagiku. Tak ada yang mampu menggantikannya.
Empat tahun telah berlalu aku meninggalkannya di Indonesia. Entah bagaimana caraku mengungkapkan apa yang tengah kurasa ini, aku sudah sangat merindukannya. “Ich vermisse dich, Vanessa.”
**
Kini aku telah mendapatkan apa yang sudah lama kuimpikan, tambahan gelar pada namaku untuk menyongsong hari depan kehidupanku. Apa yang telah kucapai ini bukan hanya untuk kehidupanku sendiri, orang tuaku yang menginginkanku sekolah setinggi-tingginya, bahkan aku sampai disini atas keinginan mereka. Dan juga aku berada disini untuk menyongsong hidup bersama wanita idamanku yang telah kujanjikan untukku kembali dan menyatukan semua mimpi dan harapan dengan ikatan yang sungguh sakral, pernikahan.
Masih kuingat bagaimana dinginnya Halim Perdanakusuma saat air mata kulihat membasahi pipi mulus milik Vanessa, padahal hari itu cukup hangat ketika matahari masih memberikan bayangan di permukaan bumi ini. Masih kuingat juga apa yang mengiringi pacuan air mata yang membasahi pipinya, hanya satu, yaitu senyuman. Tanpa kata-kata namun aku mengerti apa yang ia coba untuk ungkapkan.
“Hati-hati, jaga hatimu, aku mencintaimu.” Satu senyuman penuh makna itu dapat kubaca dengan mudahnya. Namun bukan hanya senyuman penuh harap yang kurasa, air mata itu memberikanku penjelasan betapa getirnya perasaan yang ia miliki saat aku perlahan demi perlahan menjauh sampai pesawat yang membawaku take-off dari landasan terbangnya.
Sebenarnya sangatlah berat, berat hati ini untuk pergi, meninggalkan orang tua, Vanessa, dan Indonesia. Memang aku sangat ingin pergi, namun hatiku sangatlah sulit untuk menerima kenyataan bahwa aku harus meninggalkan semua itu demi impian dan harapanku, orang tuaku dan termasuk diriku sendiri.
**
Kulihat jam tangan yang berada di lengan kiriku, jarum merah detik berlarian mengikuti waktu yang berlalu semakin larut. 8:32, malam semakin membawaku kedalam kedinginan yang menusuk tulang-tulangku saat kusadari jam tangan yang kupakai merupakan pemberian dari Vanessa.
Satu hari sebelum aku pergi dari tanah air, semua orang terdekatku sudah kuberitahu bahwa aku akan melanjutkan pendidikanku di Munich, Jerman. Semuanya, orang terdekatku terkecuali orang tuaku karena merekalah yang menginginkan aku melanjutkan pendidikan disana. Dan Vanessa, dia sudah kuberitahu jauh-jauh hari.
Dan waktu itu adalah hari selasa sore, masih kuingat dengan baik. Vanessa mengajakku berjalan-jalan untuk sekedar berbincang. Kuingat saat itu dia memegang kotak kecil dengan pita yang terikat manis di bagian atasnya untuk menjaga isinya yang kurasa sangat berharga itu. “Apa itu? Apa itu untukku?”, aku menebak sambil cengengesan. “Idiihh, sok tau kamu!” Vanessa mencubit pinggangku dengan nada manjanya sambil menjulurkan lidahnya, aku tertawa, dia gadis lugu yang lucu.
Sampai di suatu taman, kami menemukan sebuah kursi yang kami rasa cukup nyaman untuk kami jadikan tempat duduk untuk sekedar duduk dan berbincang.
Sore itu cukup damai, angin berhembus dari Selatan ke Utara, sinar matahari mencoba menerobos celah-celah kecil dedaunan berwarna merah milik pohon pucuk merah yang bergoyang-goyang saat angin berhembus melalui celah dedaunannya.
Suasana sangatlah tenang disaat Vanessa memberikan bingkisan kecil yang ada ditangannya kepadaku, air mata perlahan membasahi pipinya, spontan aku tersenyum kecil dan mengusap matanya, mencoba menghapus air matanya, “Itu memang untuk kamu.” Aku mengangguk mengerti dan tersenyum.
“Boleh aku membukanya sekarang?”
Vanessa tersenyum dan mencoba menghapus air matanya sendiri, dia mengangguk.
Perlahan ku lepaskan ikatan manis pita berwarna merah diatas bingkisan kecil dan kubuka tutup bingkisan yang berbentuk persegi tersebut. Jam tangan, memang inilah yang kuinginkan untuk hadiah ulang tahunku nanti, sederhana tetapi aku sangat menyukainya.
Swiss? Terima kasih banyak, cantik. Tapi bukankah ulang tahunku masih dua bulan lagi?” ku usap-usap kepalanya namun aku hentikan saat aku bertanya kenapa, karena memang ulang  tahunku masih dua bulan lagi. “Dua bulan lagi kamu kan tidak disini, oon! Jadi sekarang saja.” Vanessa kembali menjulurkan lidahnya dan mengejekku, dia tersenyum. Namun mungkin mengingat aku akan pergi esok harinya, dia menahan tangisnya.
Terasa sangat hangat saat kulihat air mata Vanessa meleleh dan membasahi senyumannya. Dengan penuh berharap agar peristiwa seperti ini terjadi lagi, atau hari tak pernah beranjak dan masih akan terus seperti ini. Saat itu juga aku berpikir, aku benar-benar menyayanginya, Vanessa Aliandra.
**
09:10.
Sudah terlalu malam untukku memandangi angin menyentuh lembaran daun di Englishcer Garten ini. Seperti biasa malam juga menjadi semakin dingin, dan sepi mengikuti perginya keramaian dari taman ini.
Baru saja pintu apartment terbuka, kulihat Nyonya Acelin yang berada dibelakang  pintu sedang merapikan bunga kesayangannya. “Oohh, Ronny. Kamu baru pulang ternyata, dari mana saja kamu? Diluar pasti dingin sekali, aku dapat merasakannya ketika pintu itu kau buka. Ayo ikuti aku, aku punya kue, mungkin kau mau beberapa, dengan susu hangat ini. Membantumu untuk tidur lebih nyenyak,” dengan aksen Jerman yang khas dan senyumnya, Nyonya Acelin menuntunku, dia menyiapkan beberapa keping kue dan segelas susu untuk kubawa ke kamarku. Wanita tua yang baik hati. Aku sudah menganggapnya sebagai ibu sendiri saat aku berada disini. “Danke, Acelin,” aku berterima kasih padanya sambil tersenyum, dan aku menaiki tangga menuju kamarku.
Aku menyimpan piring kecil dengan beberapa keping kue dan segelas susu dari Nyonya Acelin dijendela kamarku, tempat favoritku menatap kelap-kelip lampu rumah-rumah di kota yang tenang ini. Aku memandangi pemandangan yang kudapat sambil menikmati apa yang kudapatkan.
Setelah kue yang kudapat tak tersisa satupun, aku tak bisa tertidur. Aku mengambil violin kesayanganku di dalam lemari, membuka hardcase violin tua itu dan mengeluarkannya, masih mulus dan mengkilap seperti dulu.
Sejenak aku menyetem senar violinku agar tidak fals sehingga aku dapat memainkannya dengan indah. Lagu Für Elise dari  J. Sebastian Bach aku mainkan, ini adalah lagu kesukaanku dan kemudian dari Beethoven yang berjudul Moonlight Sonata. Lagu sendu nan lembut kesukaan Vanessa yang biasa ia minta aku memainkannya ini mulai menyayat-nyayat hatiku. “Ich vermisse dich, Ness”.
**
06:30
Aku terbangun ketika alarm berbunyi dan kulihat matahari menyelinap masuk kedalam kamarku, sangat hangat dan mampu membangkitkanku. Aku bergegas.
“Besok kau akan pulang ke Indonesia ya, Ron?” Nyonya Acelin menyambutku turun dan dapat kulihat dia seperti sedih mengetahui aku akan pulang esok hari, tapi aku berusaha tersenyum agar dia dapat ikut tersenyum. “Ya, aku akan pulang besok. Sekarang aku mau berjalan-jalan sebentar dan aku akan membeli cincin untuk wanitaku di Indonesia.” Aku memang sering bercerita tentang Vanessa pada Nyonya Acelin.
“Ayo, jangan buang waktumu, berikan dia yang terbaik dan terindah.” Nyonya Acelin tua itu tersenyum.
Aku berjalan keluar dan ternyata cukup lembab hari ini, mungkin hujan turun tadi malam saat aku tertidur. Namun yang pasti hari ini matahari cukup hangat untuk mengeringkan jalanan.
Sampai disudut kota aku menemukan toko yang kucari, toko perhiasan. Bermaksud untuk mencari cincin berlian untuk melamar Vanessa saat aku pulang ke Indonesia esok hari.
Vanessa memang sudah kuberitahu seminggu yang lalu bahwa aku akan pulang esok hari, aku memberitahukannya lewat video call, dan kulihat dia masih gadis lugu yang kukenal. Aku tak sanggup berkata-kata namun yang kurasakan ketika itu sangatlah kuat, aku sangat merindukannya. Dan tak lupa aku menanyakan kesiapannya untuk kupinang, saat itu juga kulihat wajahnya sangatlah berseri, dia memerah, kedua sudut bibirnya menggambarkan senyum.
Aku menemukan apa yang kucari dan aku langsung jatuh hati. Cincin dengan satu berlian yang tak cukup besar aku pilih untuk gadis istimewa yang akan kunikahi. Vanessa pasti akan menyukai apa yang kudapat untuknya.
Senja terakhir di Munich kuhabiskan dengan berjalan-jalan di taman indah favoritku di kota bersejarah ini, Englishcer Garten. Aku berjalan dengan ditemani oleh angin, matahari senja dan dedaunan yang berserakan di atas jalan setapak taman ini. Indah sekali, aku menghela nafasku.
Dan di malam hari aku menyiapkan kepulanganku ke Indonesia.
**
Pagi sekali aku berkemas, dan menyiapkan segalanya yang dibutuhkan, passport, tiket pesawat dan yang lainnya tak mau ku lewatkan. Terlalu sibuk berkemas, aku tidak sadar Nyonya Acelin berada di pintu memperhatikanku, dapat kulihat ekspresi wajahnya. “Hari ini, Ron?” dia tersenyum dan mencoba menyembunyikan kesedihannya. Aku mengangguk, aku sudah siap untuk pergi. Aku menghampiri Nyonya Acelin, “Ich werde Sie vermissen, Acelin”, aku berkata bahwa aku akan merindukannya. “Jangan pernah lupakan Acelin tua ini ya, Ron” dia tersenyum.
“Ayo jagoan, jangan sampai kau ketinggalan pesawatmu.”, dia menyemangatiku. Aku memeluknya dan beranjak dari apartment dengan ransel besar yang kugendong di punggungku.
Saat berada di bandara, aku memberitahukan Vanessa lewat e-mail bahwa aku akan sampai di Indonesia keesokan harinya karena memang perjalanan dari Eropa bukanlah perjalanan yang membutuhkan waktu yang singkat. E-mail singkatku ternyata dibalas olehnya. “Aku akan menunggumu, sayang. Aku hanya tersenyum membaca balasan e-mail dari Vanessa.
**
08:30, aku sampai di bandara Halim Perdanakusuma.
Aku mencari Vanessa, aku tak dapat menemukannya. Firasat tak enak kudapatkan kembali disini dan sangat kuat dibanding dengan firasat yang kudapat saat di pesawat tadi hari sedang subuh. Perasaan yang sangat tidak mengenakkan. Aku mencoba meneleponnya namun tak ada jawaban sama sekali. Aku khawatir.
Kuputuskan untuk pulang saja menuju rumah dan menemui kedua orang tuaku untuk melepas rasa rindu terhadap mereka dan menceritakan niatku untuk meminang Vanessa. Keduanya menyembunyikan sesuatu, aku dapat merasakannya, mereka tak berkomentar dan hanya senyum kecil dan getir. Ada sesuatu yang disembunyikan.
Beristirahat selama dua jam kurasa cukup untuk memulihkan kembali energiku yang terkuras saat perjalanan kemarin sampai pagi tadi. Tanpa menghiraukan firasat yang kudapat tadi pagi aku membersihkan diri dan berniat untuk pergi kerumah Vanessa untuk melepaskan rasa rindu yang tak mungkin kupendam lagi.
Mobilku yang sudah lama tak kukendarai kini melaju dengan santai menuju rumah Vanessa.
Sampai dirumah Vanessa aku disambut oleh kedua orang tuanya dengan hangat. Namun aku dapat melihat sesuatu yang salah dengan mata keduanya, seperti tak mampu menatap mataku, sama seperti kedua orang tuaku, mereka juga menyembunyikan sesuatu. Mereka berdua berpakaian hitam, mungkin habis menghadiri upacara pemakaman, “Ada apa, om? Tante? Ada yang salah? Dimana Vanessa?” aku bertanya pada mereka, namun aku tak mendapat jawaban atas pertanyaanku.
Keduanya masih terdiam sampai salah satu diantara mereka berbicara, ayah Vanessa yang berbicara. “Nak Ronny, kita batalkan saja tak apa?” dapat kulihat dari matanya, ada yang salah, aku terhentak mendengar pertanyaan yang sesungguhnya berupa pernyataan itu. “Kenapa om? Ada apa?”, batinku bertanya-tanya. “Vanessa.. Vanessa.. Vanessa putri om..” ia terbata tak mampu menyelesaikan kata-katanya. Ibunda Vanessa ikut berbicara, “Vanessa sudah meninggal, tadi pagi saat dia menuju bandara dan ingin menjemputmu, Ron.” Tangisnya meledak.
Vanessa?
Dia meninggal? Apa ini mungkin? Aku menganggap ini hanyalah lelucon dan kembali bertanya pada keduanya namun jawabannya masih sama seperti yang kudengar pertama kali. Mampukah aku merubah jawaban dari mereka berdua? Ini tidak mungkin!
Aku meminta bukti atas pernyataan keduanya, mereka menyanggupinya. Mereka ingin membawaku ke makam Vanessa. Pikiranku sangatlah kacau dan aku tak mampu berpikir jernih, aku mengemudikan mobilku atas petunjuk keduanya.
Aku sampai dan mereka menunjukkan nisan yang bertuliskan
Vanessa Aliandra binti Hariono, lahir 15 Januari 1989, wafat 21 Agustus 2013.
Meninggalnya Vanessa memang bukan lelucon, 21 Agustus 2013 masih hari ini.
Tadi pagi? Vanessa meninggal tadi pagi? Saat tadi dia akan menjemputku?
Seketika aku rubuh, seakan menyatu dengan gundukan tanah berwarna merah yang masih baru tersebut. Air mataku sudah tak dapat kubendung lagi karena memang aku sangat mencintainya. Air mataku membasahi tanah pekuburannya.
“Vanessa?” aku hanya mampu menangis dan suaraku cukup parau untuk mengetahui bahwa gadis yang kucintai sudah meninggal.
**
Empat tahun berlalu dari kejadian menyedihkan yang tak mampu kulupakan.
Kini aku sudah mempunyai seorang istri dan seorang bayi. Aku pernah menceritakan tentang Vanessa pada istriku dan ternyata dia tak merasa risih ketika aku bercerita. Aku sudah pernah merasakan dan aku tak pernah ingin merasakannya lagi, itu juga yang kuceritakan pada istriku.
Satu waktu, aku mengajak istriku untuk datang ke makam Vanessa, dia tak menolak dan dengan senang hati menerima ajakanku.
Aku menemukan makamnya dan menaburkan bunga diatas tanah yang kini menjadi rumah dari gadis cantik, lugu, yang dulu sangatlah kukagumi. Tiba-tiba angin halus kurasakan menyentuh tubuhku, istriku pun ikut merasakannya, dan bayiku yang sedang digendong ibunya tersenyum seperti melihat sesuatu yang sangatlah indah.
Dengan berani aku berkata dalam hatiku bahwa angin yang berhembus itu adalah sapaan dari Vanessa, dengan sedikit bergumam aku berkata, “Ich vermisse dich, Vanessa.”
SELESAI