Alexis & Remora
Oleh Azis Abdullah
Hari ini tak begitu bersahabat bagi
Alexis, awan bergerombol menjadi satu dan terlihat berubah warna menjadi
kelabu. “Mungkin hujan akan turun, aku harus segera kembali,” Alexis bergumam
pelan dan hanya terdengar olehnya sendiri. Dia bergegas menuju tempatnya, dia
percepat langkah kakinya agar cepat sampai di tujuannya.
Hutan bukanlah tempat yang bersahabat, apa yang ada di
dalam hutan bisa membunuh siapa saja tanpa terkecuali. Tetapi baginya hutan
adalah pelindungnya, hutan adalah sahabat. Tempat Alexis berada tepat di tengah
hutan, bukan tempat yang menakutkan seperti yang orang-orang bayangkan, malah
tempat Alexis adalah tempat yang paling indah di dunia, dan hutan menjaganya.
Alexis masih berjalan ketika dia tiba-tiba mendengar
suara seorang wanita meminta tolong, dia kesakitan, Alexis mengubah arahnya dan
mencari tahu darimana suara itu berasal. Dia menemukannya, seekor burung yang
terjepit diantara dahan pohon, burung yang cantik dengan bulu terang berwarna
biru, sangat indah sampai Alexis tidak bergerak sedikitpun melihat burung itu.
“Tolong aku, tuan!” burung dengan bulu berwarna biru itu membuyarkan lamunan
Alexis, “Ah iya, maafkan aku!” Alexis terkejut dan mencoba melepaskan burung
itu, noda darah mengotori bulu indahnya.
“Terimakasih, Tuan. Mungkin aku akan mati disini apabila
tuan tidak datang kesini.” Ucap burung cantik itu.
“Ya, apakah kau bisa terbang kembali?” tanya Alexis.
“Entahlah, akan kucoba.” Burung itu mengepak-ngepakkan
sayapnya mencoba untuk terbang kembali, dia jatuh, namun Alexis menangkapnya
sebelum tanah menerimanya.
“Mungkin lebih baik kau kuobati dulu, biar ku bawa kau ke
tempatku.” Alexis menawarkan dan burung cantik itu hanya mengangguk pelan tanda
setuju. Tanpa berbasa-bari Alexis meletakkan burung cantik itu di pundaknya dan
kembali ke tempatnya tepat ditengah hutan itu.
Sesampainya disana, burung cantik itu tidak banyak
berbicara melihat tempat Alexis tinggal, dia melihat tempat yang paling indah dari
tempat-tempat indah yang pernah dia lihat. Pohon-pohon berdiri kokoh bagaikan
pillar yang menjulang, ada sebuah danau kecil dengan mata air yang mengalir
langsung dari bawah, jamur-jamur bercahaya terlihat memandarkan sinarnya
meskipun redup. Burung itu merasa bahwa sekarang dia ada di tempat yang paling
indah di dunia.
“Inikah tempat tinggalmu, tuan?” burung itu bertanya.
“Ya, ini tempat tinggalku, indah bukan? Tidak ada orang yang tahu keberadaan
tempat ini, hutan diluar menyembunikannya dari pandangan orang-orang. Dan,
panggil saja aku Alexis. Apakah kau mempunyai nama wahai burung yang cantik?”,
“Baiklah, maafkan aku Alexis. Namaku Remora.” Burung itu memperkenalkan
dirinya, dia bernama Remora.
Alexis tertegun melihat bulu berwarna biru dari burung
itu, dia merasakan hal yang berbeda, cinta.
Alexis bukanlah seorang manusia seperti kebanyakan, ibu
yang melahirkannya adalah seorang manusia, tetapi ayahnya adalah seorang dewa,
Alexis adalah manusia setengah dewa.
“Baiklah, apa hanya ini wujudmu, Remora?” Alexis bertanya
pada Remora. Remora menggeleng pelan dan dia mengepakkan sayapnya, seketika
angin yang berada di sekitar mereka mendadak menjadi kencang dan Alexis tidak
bisa melihat apa-apa, angin berhenti dan Alexis hanya tertegun melihat
kecantikan Remora dalam wujud manusia, wanita anggun dengan dibalut gaun
berwarna biru, dan tangannya terlihat terluka.
“Ah, bukankah kau akan mengobatiku, Alexis?” Remora
tersenyum pada Alexis mengingatkannya mengobati luka Remora.
“Oh maafkan aku, Remora, baiklah” Alexis membalas
senyumannya dan berlalu mencari tanaman obat-obatan yang ada di taman miliknya.
Remora tersenyum sambil memperhatikan Alexis berjalan, dia pun merasakan hal
yang sama, cinta.
Tak berapa lama, Alexis kembali
dengan mangkuk ditangan kanannya dan beberapa lembar daun. “Ini makanlah,
mungkin kau lapar Remora. Dan daun ini akan cepat menyembuhkanmu,” tanpa
menunggu pertanyaan, Alexis memeras daun yang digenggamnya dan mengucurkan air
perasaannya pada luka Remora dan menempelkan daunnya. “asshh!” Remora meringis,
“Tenanglah, itu tidak akan lama,” Alexis menenangkan.
Makanan yang dibawa Alexis tadi
telah habis dilahap Remora, “Ini sangatlah enak, Alexis” puji Remora, Alexis
yang sedari tadi memerhatikannya hanya tersenyum mendengarnya.
“Apakah kau mau berkeliling
melihat-lihat tempat tinggalku, Remora?” Alexis mengajak.
Remora melirik sekitarnya, kembali memandang Alexis,
tersenyum dan mengangguk pelan.
“Baiklah, ayo!” Alexis mengulurkan tangannya, begitupun
Remora.
Mereka berjalan menyusuri jalan, menapaki jalan setapak yang
dibuat oleh jajaran bebatuan berwarna merah, Alexis menuntun Remora
mengelilingi tempat tinggalnya yang berada jauh ditengah hutan dan jauh dari
penglihatan ataupun jangkauan manusia biasa di desa sekeliling hutan itu.
Mata Remora tak berhenti berbinar
ketika Alexis mengajaknya mengelilingi tempat tinggalnya Alexis. Terutama saat
dia sampai di bagian timur tempat tinggal Alexis, di bagian timur itu ada
sebuah air terjun kecil yang berwarna-warni karena pelangi diatas riaknya air yang
saling berjatuhan dari atas bebatuan sungai.
Ketika Alexis dan Remora sedang duduk diatas batu besar
dan dia bisa memandangi air terjun kecil yang tempat tinggal Alexis miliki,
datanglah seekor burung kecil berwarna keemasan menghampiri mereka berdua,
Remora mengulurkan tangannya dan tanpa rasa takut burung itu mendarat di tangan
Remora.
“Siapa namamu burung kecil?” tanya Remora padanya.
“Icarus, aku memberinya nama Icarus, dia temanku disini, Remora.” Alexis
memotong menjelaskan. Burung itu berkicau dengan sangat indah, sebenarnya dia
tidak hanya berkicau, dia mengajak Remora berbicara, dan Remora
tersenyum-senyum kecil mendengarnya.
“Ah, Icarus! Jangan kau ceritakan semuanya!” Alexis
terdengar sedikit marah dan malu mendengar pembicaraan Icarus pada Remora.
“Tak apa, dia hanyalah burung kecil yang lugu, dan dia
sangatlah jujur” Remora tertawa kecil mengingat pembicaraannya bersama Icarus,
Alexis terlihat memerah, malu.
“Jadi.....” Alexis dan Remora berbicara bersamaan, mereka
saling pandang dan tertawa bersama-sama. “Silahkan kau dulu, Alexis”, “Ah
tidak, kau dulu saja Remora” mereka berdua salah tingkah, “Aku lebih senang kau
dulu yang berbicara” Remora tersenyum pada Alexis.
“Baiklah....” Icarus terbang dan hinggap di pundak
Alexis. “Apakah kau mau tinggal disini bersamaku Remora? Entahlah, sampai
lukamu benar-benar sembuh atau mungkin selama yang kau mau?” Alexis tersenyum,
Icarus pun ikut berkicau setelah Alexis, dia pun menanyakan hal yang sama pada
Remora.
“Aku pun mau menanyakan hal itu padamu, Alexis. Apakah
boleh aku tinggal disini untuk sementara waktu atau ya seperti yang kau katakan
tadi? Tapi aku mendengar pertanyaan itu darimu, maka aku tahu jawaban yang
benar. Ya, aku mau tinggal disini, Alexis. Aku mau.” Remora membalas senyuman
Alexis sambil mengangguk pelan.
Apalagi yang membuat Alexis senang selain jawaban dari
Remora? Tidak ada, Alexis sangat gembira mendengarnya. Begitupun Icarus, dia
terbang, dan berkicau di udara, dia hanyalah burung kecil periang sama dengan
anak-anak manusia kebanyakan.
Alexis dan Remora tertawa melihat Icarus seperti itu di
udara, mereka pun dapat merasakan kesenangan yang dirasakan Icarus.
***
Dua tahun berlalu, Alexis dan Icarus selalu ada didekat
Remora.
Malam menampakkan bulan yang sangat indah, Remora
terduduk dan memperhatikan bulan yang jauh diatas sana didekat tempat tidurnya,
tapi ada sesuatu dalam benak Remora yang membuat senyumannya mengendur. “Aku
dapat mendengar sayapku memanggil-manggil namaku, aku rindu untuk terbang dan
melihat dunia”, Remora bergumam namun kemudian dia menuju tempat tidurnya dan
berbaring, dia tertidur.
Keesokan paginya Remora berjalan-jalan, menuju ke tempat
yang sangat sering dia kunjungi, bagian timur di tempat tinggal Alexis, mungkin
sekarang tempat tinggal mereka berdua. Remora duduk diatas batu besar yang
biasa dia duduki saat datang ke tempat itu.
Tak lama dari itu, Alexis muncul dari balik pohon bersama
Icarus, Icarus mendahului Alexis dan terbang menuju Remora, dia berkicau.
“Selamat pagi, Remora! Sepagi ini kau bangun?” Alexis menyapa dan tersenyum.
“Oh iya, selamat pagi juga Alexis, Icarus” Remora
menjawabnya dan tersenyum.
Alexis melihat sesuatu yang berbeda di senyuman Remora,
bukan senyuman yang biasa dia lihat di hari pertama Remora datang ke tempat
ini, dan bukan senyuman yang biasa Remora perlihatkan padanya, ada sesuatu yang
sangat mengganggu menyelimuti pikiran Remora, pikir Alexis.
“Ada apa Remora? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Alexis memberanikan diri untuk bertanya, begitupun Icarus, dia berkicau
menanyakan hal yang sama pada Remora.
“Eh? Apa? Iya? Maafkan aku Alexis. Mungkin aku kelelahan
bermain bersama Icarus kemarin” Remora mencoba meyakinkan Alexis tetapi dia
berbohong.
Alexis tahu Remora berbohong, “Tidak, kau bukan kelelahan
aku tahu, ada sesuatu yang lebih dari itu yang mengganggu pikiranmu saat ini,
Remora. Katakan saja padaku.”
Remora memandang Alexis. Cukup lama, tanpa ada sepatah
kata pun yang keluar dari bibirnya.
Remora menghela nafas, “Hhhh, Alexis, kau tahu kan aku
ini siapa dan dulu aku ini mempunyai apa?” Alexis mengangguk pada Remora, dia mulai mengerti apa yang mengganggu
Remora, tetapi dia hanya mendengarkannya, tak ingin memotong pembicaraannya.
Icarus di pundak Alexis, dia memiringkan kepalanya.
“Dan setiap malam aku dapat mendengar yang tak mungkin
kau dengar, Alexis. Sayapku memanggilku, dia berkata merindukan aku, begitupun
aku merindukan terbang dan melihat dunia dari atas sana.” Remora menengadah dan
menunjuk ke udara.
“Bukankah kau suka tinggal disini Remora?” Alexis balik
bertanya.
“Ya, aku sangat suka tinggal disini. Tetapi apa aku harus
mengingkari sayapku yang kupercaya, dan apa harus aku menyalahi takdirku untuk
dapat terbang di atas sana?” pertanyaan Remora menjelaskan semua pada Alexis,
dia tak menjawabnya dan hanya terdiam memandangi Remora.
“Aku mencintaimu, Remora. Aku mengharapkanmu jangan pergi
dan tetaplah tinggal disini bersamaku dan Icarus” Alexis memohon, dia juga
melirik Icarus.
“Aku pun begitu, Alexis. Aku sangatlah mencintaimu. Tapi
aku pun memiliki takdir yang lebih dulu kukenal daripada cinta ini.” Remora
terlihat berkaca-kaca, perlahan air mata mengalir membasahi pipinya.
Alexis terdiam, begitupun Icarus.
“Baiklah Remora, jika itu maumu maka silahkan terbanglah.
Tak apa, memang itu takdirmu sebelumya, bagaimana aku dapat menyalahi takdir
yang diberikan padamu.” Alexis tersenyum, Icarus memandanginya, dia dapat
melihat tangisan dibalik senyuman Alexis meskipun senyuman itu terlihat sangat
cerah.
“Tapi, mungkin kau mau berubah pikiran, tidak akan begitu
telat kurasa.” Alexis melanjutkan.
“Berubah pikiran?” Remora mengusap matanya.
“Ya, setiap orang berubah pikiran, Remora. Termasuk kita,
meskipun kita bukan orang biasa, tetapi tetap kita punya hati dan pikiran,
sewaktu-waktu dapat berubah. Seperti saat ini, bukankah kau dulu telah
memutuskan untuk tinggal disini bersamaku.” Alexis masih dengan senyumannya.
Icarus pun ikut berkicau.
Remora tersenyum, “Mungkin ini terakhir aku merubah
pikiranku, aku ingin kembali terbang, aku ingin kembali melihat dunia yang luas
diluar sana, Alexis. Maafkan aku.”
“Jika kau pikir ini yang terbaik, maka lakukanlah,
Remora. Jangan sampai aku menjadi penghalang antara kau dan takdirmu.” Alexis
membalas senyuman Remora, kali ini Icarus diam.
Remora berdiri dari duduknya dan kembali bertanya,
“Maukah kau antarkan aku ke depan?” dia tersenyum namun matanya berkaca-kaca.
Alexis menyanggupinya, dia mengangguk pelan. Icarus
terbang dan mengikuti jalannya mereka berdua.
Sepanjang perjalanan menuju ke bagian depan tempat
tinggal Alexis, mereka berdua hanya terdiam dan tak ada sepatah kata yang
keluar dari bibir mereka masing-masing. Beku, jalanan terasa dingin ketika
mereka berjalan.
Mereka telah sampai di gerbang, begitu pun Icarus yang
langsung hinggap di bahu Alexis.
“Apa kau yakin, Remora. Belum terlambat untuk berubah
pikiran.” Alexis tersenyum, kali ini getir.
“Aku sangatlah yakin, Alexis. Sayapku, mereka
memanggilku.” Remora tak banyak berkata-kata, dia memeluk Alexis. Erat,
sangatlah erat. Tak berlama-lama, Remora melepaskan pelukannya. Dia kembali
berubah menjadi burung indah dengan bulu berwarna biru cerah, sama seperti saat
Alexis dan Remora bertemu dua tahun yang lalu, dia masih sangat cantik.
“Baiklah, jaga dirimu baik-baik.” Alexis berkata,
anggukan kecil Remora membalasnya. Kemudia Remora mengepakkan sayapnya dan
terbang menjauhi Alexis. Tatapan lah yang mengiringi terbangnya Remora,
bukannya lambaian tangan.
Icarus berkicau, “Tidak Icarus, tidak usah. Tinggal lah
disini bersamaku, dan biarkan Remora terbang.” Alexis hanya tersenyum pada
Icarus dan membalikkan badannya dari sana, “Ayo Icarus, tempat ini menyiksaku.”
***
Satu
hari Remora pergi, Icarus dapat melihat dengan jelas apa yang ada dalam lamunan
Alexis.
Dua
bulan berlalu, masih tetap sama, Alexis merindukan Remora.
Begitupun satu tahun setelah Remora pergi, Alexis tak
dapat menjauhkan lamunannya dari Remora, makhluk yang begitu indah yang pernah
Alexis temui.
Icarus mendekat pada Alexis dan berkicau, dia
mengkhawatirkan Alexis. “Tenanglah Icarus, aku tidak apa-apa, hanya sedikit
merindukannya, tidak lebih.” Alexis tersenyum mencoba tegar, Icarus memiringkan
kepalanya, dia tahu apa yang dirasakan Alexis, Alexis tidak hanya sedikit
merindukannya, tetapi berharap untuk Remora dapat kembali.
Alexis berdiri dari duduknya, berjalan menjauhi Icarus
tanpa senyuman. Icarus hanya memperhatikan tanpa mengikutinya.
Selang beberapa menit, Alexis kembali dan menghampiri
Icarus, Alexis dengan perbekalannya. “Icarus, maukah kau melakukan sesuatu
untukku?” tanya Alexis. “Tinggal lah disini dan tunggu Remora, aku tahu dia
pasti akan kembali. Dan berikan ini kepadanya.” Alexis memberikan sepucuk surat
pada Icarus.
Tanpa berpikir panjang, Alexis melangkah dan pergi dari
tempat tinggalnya. “Jaga dirimu baik-baik, kawan.” Alexis berkata pada Icarus.
***
Beberapa bulan telah berlalu dari perginya Alexis, Icarus
menunggu datangnya Remora kembali ke tempat itu.
Remora telah sampai, seperti yang Alexis percaya, Remora
akan akan kembali, tetapi Alexis telah pergi dan meninggalkan tempat itu.
“Alexis! Alexis!”, Remora mencoba memanggil tapi tak ada jawaban. “Icarus!”
kemudian dia mencoba memanggil Icarus, tak lama Icarus menghampirinya. “Mana
Alexis, Icarus?” tanya Remora. Icarus tak menjawab, dia pergi dan meninggalkan
Remora, tapi tak berapa lama dia datang kembali dengan sepucuk surat di
paruhnya, untuk Remora.
Remora membuka surat itu dan membacanya.
Terbanglah Remora, terbang
Dunia menunggu dirimu
Bukan aku
Terbanglah Remora, terbang
Angin menunggumu
Bukan
kami
Ada
daratan diantara daratan
Yang
menunggu dirimu
Ada
angin untukmu terbang
Seperti
daun yang gugur
Dan
terbawa terbang di angkasa
Terbanglah
Remora, terbang!
Remora, mungkin dengan surat ini aku akan mengatakannya
padamu. Aku mencintaimu, Remora. Aku merindukanmu.
Alexis.
Remora menutup surat itu, “Apakah
dia pergi, Icarus?” , Icarus
hanya menjawab pertanyaan Remora dengan anggukan kecil dan dia terbang menuju
pepohonan, dia memperhatikan Remora dari jauh. Remora menjatuhkan air matanya,
“Maafkan aku, Alexis! Sekarang, dimana kau?”, Remora tak dapat membendung lagi
tangisnya.
Remora kembali menjadi burung dan
terbang, dia mencoba mencari Alexis.
Diluar tempat yang telah
ditinggalkannya selama satu tahun terakhir itu tanpa sengaja karena
terburu-buru, Remora mendapati dirinya kembali menabrak pohon dan sayapnya
tersangkut lagi. Kejadian itu terulang lagi, pada saat mereka pertama bertemu,
Alexis dan Remora. Namun kali ini siapa yang dapat menolongnya, Alexis yang dia
tinggalkan kini telah pergi jauh entah kemana, dan tidak ada seorang pun
mendengar tangisannya di hutan itu.
“Alexis!!! Maafkan aku!” Remora
menangis.
SELESAI